Minggu, 08 April 2012

Soal 2


Nama  : Ika Widiyawati
Kelas  : 2EB09
NPM   : 23210408
Soal-soal Perikatan, Hukum Perjanjian & Hukum Dagang

1.      Apa saja yang termasuk dalam macam-macam perikatan, kecuali:
a.       perikatan bersyarat
b.      perikatan bebas
c.       perikatan tanggung menanggung
d.      perikatan tentang penetapan hukuman
Jawab: B

2.      Yang tidak termasuk dalam dasar hukum perikatan:
a.       perikatan terjadi karena perjanjian
b.      perikatan yang timbul dari persetujuan
c.       perikatan yang timbul dari undang – undang
d.      perikatan terjadi bukan perjanjian
Jawab: A

3.      Manakah yang termasuk syarat subyektif syahnya suatu perjanjian:
a.       suatu hal tertentu
b.      suatu bab yang halal
c.       perikatan yang sudah lahir
d.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Jawab: D

4.      Apakah yang dimaksud dengan hukum dagang:
a.       hukum sesuai dengan syarat, rukun serta hal-hal lainnya yang ada kaitannyadengan jual beli
b.      keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya
c.       hukum perikatan yang timbul dari lapangan perusahaan
d.      ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat
Jawab: C

5.      Yang termasuk dalam badan usaha adalah:
a.       perusahaan jawatan
b.      koperasi
c.       perusahaan umum
d.      perusahaan perseroan
Jawab: B

Sabtu, 07 April 2012

Hukum Perjanjian


Hukum Perjanjian

            Perjanjian Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
I.                   Standar Kontrak
Macam – Macam Kontrak Kerja
Jika Anda diterima kerja di suatu perusahaan, Anda pasti akan diberikan surat perjanjian kerja/ kontrak kerja. Sebelum Anda menanda-tangani kontrak, baca dan pelajari kontrak kerja Anda terlebih dahulu. Dalam kontrak kerja, kita dapat mengetahui syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban bagi pekerja dan pemberi kerja/pengusaha, selain itu kita juga dapat mengetahui status kerja, apakah kita berstatus karyawan tetap atau karyawan kontrak.

1.      Menurut bentuknya
A.    Berbentuk Lisan/ Tidak tertulis
·         Meskipun kontrak kerja dibuat secara tidak tertulis, namun kontrak kerja jenis ini tetap bisa mengikat pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan isi kontrak kerja tersebut.
·         Tentu saja kontrak kerja jenis ini mempunyai kelemahan fatal yaitu apabila ada beberapa isi kontrak kerja yang ternyata tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena tidak pernah dituangkan secara tertulis sehingga merugikan pekerja.

B.     Berbentuk Tulisan
·         Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dapat dipakai sebagai bukti tertulis apabila muncul perselisihan hubungan industrial yang memerlukan adanya bukti-bukti dan dapat dijadikan pegangan terutama bagi buruh apabila ada beberapa kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh pengusaha yang merugikan buruh.
·         Dibuat dalam rangkap 2 yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, masing-masing buruh dengan pengusaha harus mendapat dan menyimpan Perjanjian Kerja (Pasal 54 ayat 3 UU No.13/2003).

2.      Menurut waktu berakhirnya
A.    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang pekerjanya sering disebut karyawan kontrak adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
·         didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tertentu
·         dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker (Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu
·         dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama;
·         tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian kerja BATAL DEMI HUKUM (Pasal 58 UU No. 13/2003).

B.     Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) yang pekerjanya sering disebut karyawan tetap adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan

II.               Macam-macam Perjanjian
1.      Perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat sesuatu petunjuk dalam undang-undang.
2.      Mengenai barang yang tak tertentu (artinya barang yang sudah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan bahwa para ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang bergerak yang tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi riil tak mungkin dilakukan.
3.      Mengenai barang tak bergerak ada dua pendapat. Yurisprudensi pada waktu sekarang dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi riil tidak mungkin dilakukan. Pendirian itu didasarkan pada dua alasan.

III.            Syarat-syarat Perjanjian
Syarat-syarat syahnya suatu perjanjian:
Ada 4 syarat yaitu : (pasal 1320 KUHPer)
·         Syarat Subyektif:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
·         Syarat Obyektif:
3.      Suatu hal tertentu;
4.      Suatu bab yang halal.

Agar suatu persetujuan/perjanjian dianggap sah harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu:
1.      Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri (Psl. 1320 ayat (1) KUHPer)
2.      Kecakapan untuk melakukan perikatan (Psl. 1320 ayat (2) KUHPer)
3.      Mengenai suatu pokok persoalan tertentu (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)
4.      Oleh sebab yanng tidak terlarang (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)

Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3.      Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4.      Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

Unsur Perjanjian
                        Aspek Kreditur atau disebut aspek aktif :
1). Hak kreditur untuk menuntut supaya pembayaran dilaksanakan
2). Hak kreditur untuk menguggat pelaksanaan pembayaran
3). Hak kreditur untuk melaksanakan putusan hakim.
                        Aspek debitur atau aspek pasif terdiri dari :
1). Kewajiban debitur untuk membayar utang;
2). Kewajiban debitur untuk bertanggung jawab  terhadap gugatan kreditur
3). Kewajiban debitur untuk membiarkan barang-  barangnya dikenakan sitaan eksekusi

IV.             Saat Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua piak tersebut. Apa yang dikendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua  belah pihak. Apabila kedua kehendaka itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan suatu norma, bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte).

V.                Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan ini pada umumnya berakibat bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjan sebelum dibuat. Kalau yang dimaksudkan oleh undang-undanbg itu untuk melindungi suatun pihak yang membuat perjanjian sebagai mana halnya dengan orang-orang yang masih dibawah umur/dalam hal te;lah terjadi suatu paksaan, kekilafan atau penipuan, maka opembatalan itu hanya dapat dituntut oleh orang yang hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Penuntutsn pembatalan yang daopatr diajukan olerh salah sau pihak yang membuat perjanjian yang dirugikan, karena oerjanjian itu harus dilakukan setelah waktu lima tahun, waktu mana dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum dewasa dihitung mulai hari orang itu teklah menjadi dewasa dan dalam hal suatu perjanjian yang dibuat karena kekhilafan atau peni[uan dihitung mulai hari dimana kekhilafan atau penipuan ini diketahuinya. penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh hakim jka terrnyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang rugikan.
Akhirnya, selain dari apa yang diatur dalam B.W. yang diterangkan diatas ini, ada pula kekuasaan yang oelh organisasi woeker (stbl. 1938-5240) diberikan pada hakim untuk membatalkan perjanjian, jika ternyata antara kedua belah pihak telah diletakan kewajiban timbal balik yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula satu  pihak berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.

Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian dibagi dalam tiga hal yaitu :
1.      Perjanjian untuk memberikan penyerahan suatu barang
2.      Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3.      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan “Prestasi”
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya: jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Suatu persoalan dalam hukum perjanjian ialah persoalan , apakah berhutang atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian.

Sumber:

Jumat, 06 April 2012

Perikatan


PERIKATAN

I.                   Pengertian Perikatan

Perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

Perikatan adalah hubungan hak dalam lingkungan harta kekayaan antar 2 pihak atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi.

Hukum perikatan dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban.

Macam-macam Perikatan:
-          Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
-          Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling)
-          Perikatan yang membolehkan memilih (alternatif)
-          Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair)
-          Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
-          Perikatan tentang penetapan hukuman (strafbeding)

II.                Dasar Hukum Perikatan
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan
2.      Perikatan yang timbul dari undang – undang
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
                                                        
III.          Azas-azas dalam Hukum Perikatan
·         Buku III KUH Perdata yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
~        Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

~        Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

·         Sistematika Buku III KUHPerd
·         Jika ketentuan bagian umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka yang dipake adalah ketentuan yang khusus.

IV.          Hapusnya Perikatan
Pasal 1381
Perikatan Hapus :
Karena pembayaran;
Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaruan utang; karena perjumpaan utang atau kompensasi;
Karena pencampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terutang;
Karena kebatalan atau pembatalan;

      Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Sumber: