Kamis, 29 Desember 2011

REVIEW JURNAL 11


REVIEW JURNAL

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS

SUMBER : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_4.htm

NAMA KELOMPOK :

1. Ika Widiyawati ; 23210408 ; iqqha_widiya
2. Debby Nur ; 21210725 ; deby_kibitverz
3. Amanda Fajriyah ; 20210595 ; fajriyahamanda
4. Dyah Nawang Wulan ; 22210228 ; nawangwulan_06
5. Anggi Cynthia Devi ; 20210817 ; anggicynthiadevi

ABSTRAK

Selama ini koperasi di­kem­bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar ba­gi penduduk Indonesia. Menyikapi sejumlah permasalahan yang kini dihadapi bersama adalah menggugah kita untuk menggagas cara-cara memajukan koperasi tani dan nelayan di Indonesia karena banyak tani dan nelayan yang masih mempunyai tingkat perkonomian yang rendah.

LATAR BELAKANG
Pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan, tapi pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah.

Untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada  beras, pada sub sektor pertanian tanaman pangan pernah diberi nama “pertanian rakyat”. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru, tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan pengerakannya.

KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol.

Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.

POSISI PERTANIAN : KINI DAN KE DEPAN

Sampai saat ini posisi sektor pertanian  tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang
dari 19%.

Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Disektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Diperkirakan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang bukan usaha mikro.

Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas.

Perlu didasarkan pada posisi sektor pertanian yang semakin terbuka dan bebas untuk melihat posisi koperasi secara kritis. Dengan dasar bahwa proses liberalisasi perdagangan yang berdampak pada sektor pertanian dihapuskan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terfokus. Sehingga pengekangan program pembangunan pertanian tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas. Dengan demikian corak koperasi pertanian akan terbuka tetapi untuk menjamin kelangsungan hidupnya akan terbatas pada sektor selektif yang memenuhi persyaratan tumbuhnya koperasi.

SKETSA KOPERASI PERTANIAN DI MASA DEPAN

Perkembangan koperasi pertanian ke depan terfokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Maka dari itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum.

 Koperasi Nelayan karena kekuatan utamanya terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah. Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari "nelayan tangkap" menjadi “nelayan budidaya”, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing.

Koperasi perkebunan tetap mempunyai prospek yang bagus terutama yang terkait dengan industri pengolahan. Potensi besar sektor perkebunan untuk memanfaatkan kelembagaan koperasi dapat direalisasi dengan dukungan restrukturisasi status aset anggota dalam koperasi.

Koperasi di sub sektor peternakan terutama peternakan sapi perah apapun kebijakan yang ditempuh akan mampu berkembang dengan karakter koperasi yang kental.

Untuk kegiatan pertanian lainnya agar lebih berhati-hati untuk mengenalkan konsep koperasi ke dalam kegiatan pertanian. Persyaratan usaha masing-masing anggota, kesesuaian struktur pasar dan keterkaitan jangka panjang antara bisnis anggota dan kegiatan koperasi akan tetap menjadi pertimbangan kepentingan untuk menumbuhkan koperasi pertanian.

KESIMPULAN

Sampai pada saat ini sektor pertanian masih tetap penyedia lapangan kerja terbersar. Dilihat dari unit usaha pertanian dari keseluruhan unit usaha yang ada, petani besar sebenernya potensial dilihat sebagai modal untuk menjadi lokomotif pembangunan pertanian. Pada persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari "nelayan tangkap" menjadi “nelayan budidaya”, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing.

OLEH :

Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

REVIEW JURNAL 10

REVIEW JURNAL
DEMOKRASI EKONOMI DAN DEMOKRASI INDUSTRIAL


NAMA KELOMPOK :
1. Anggi Cynthia Devi ; 20210817 ; anggicynthiadevi
2. Debby Nur ; 21210725 ; deby_kibitverz
3. Amanda Fajriyah ; 20210595 ; fajriyahamanda
4. Dyah Nawang Wulan ; 22210228 ; nawangwulan_06
5. Ika Widiyawati ; 23210408 ; iqqha_widiya
       
I.  I. ABSTRAK
Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas berorientasi pada etika (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan kemanusiaan, dengan cara-cara nasionalistikdan kerakyatan (demokrasi). Secara utuh Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya bersifat kooperatif/ kekeluargaan/ tolong-menolong. Profit-Sharing dan Employee Participation. Prinsip profit-sharing atau bagi-bagi keuntungan dan resiko yang jelas merupakan ajaran Sistem Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara maju (welfare state) yang merasa bahwa penerapan prinsip profit-sharing dan employee participation lebih menjamin ketentraman dan ketenangan usaha dan tentu saja menjamin keberlanjutan suatu usaha.
Economic democracy is typically used to denote a variety of forms of employee participation in the ownership of enterprises and in the distribution of economic rewards;
Industrial democracy refers to the notion of worker participation in decision-making and employee involvement in the processes of control within the firm. (Poole 1989: 2)
Demokrasi industrial yang tidak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang bersifat neoliberal. Prinsip employee participation yaitu partisipasi buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan perusahaan sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing. 
II. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini semakin luas dibahas sistem Ekonomi Syariah yang dianggap lebih adil dibanding sistem ekonomi yang berlaku sekarang khususnya sejak 1966 (Orde Baru) yang berciri kapitalistik dan bersifat makin liberal, yang setelah kebablasan kemudian meledak dalam bentuk bom waktu berupa krismon tahun 1997. Krismon yang menghancurkan sektor perbankan modern kini tidak saja telah menciutkan jumlah bank menjadi kurang dari separo, dari 240 menjadi kurang dari 100 buah, tetapi juga sangat mengurangi peran bank dalam perekonomian nasional.
Dalam pada itu Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas berorientasi pada etika (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan kemanusiaan, dengan cara-cara nasionalistikdan kerakyatan (demokrasi). Secara utuh Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya bersifat kooperatif/ kekeluargaan/ tolong-menolong.  
Jika suatu masyarakat/negara/bangsa, warganya merasa sistem ekonominya berkembang ke arah yang timpang dan tidak adil, maka aturan mainnya harus dikoreksi agar menjadi lebih adil sehingga mampu membawa perekonomian ke arah keadilan ekonomi dan sekaligus keadilan sosial.
III. PROFIT-SHARING DAN EMPLOYEE PARTICIPASION
Prinsip profit-sharing atau bagi-bagi keuntungan dan resiko yang jelas merupakan ajaran Sistem Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara maju (welfare state) yang merasa bahwa penerapan prinsip profit-sharing dan employee participation lebih menjamin ketentraman dan ketenangan usaha dan tentu saja menjamin keberlanjutan suatu usaha.
Meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas dari industrial democracy namun keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau “style” manajemen satu perusahaan yang jika dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan. Itulah demokrasi industrial yang tidak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang bersifat neoliberal.
IV. KERANGKA PEMIKIRAN
Prinsip employee participation yaitu partisipasi buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan perusahaan sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing. Adanya partisipasi buruh/karyawan dalam decision-making perusahaan berarti buruh/karyawan ikut bertanggung jawab atas diraihnya keuntungan atau terjadinya kerugian.
Banyak perusahaan di negara kapitalis yang menganut bentuk negara kesejahteraan (welfare state) telah menerapkan prinsip profit-sharing dan employee participation ini, dan yang paling jelas diantaranya adalah bangun perusahaankoperasi, baik koperasi produksi maupun koperasi konsumsi, terutama di negara-negara Skandinavia.
Berdasarkan penelitian 303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba dan pemilikan saham oleh buruh/karyawan ada 5 yaitu (Poole 1989: 70-71):
      1.       Komitmen moral (moral commitment);
      2.       Penahanan staf (staff retention);
      3.       Keterlibatan buruh/karyawan (employee involvement);
      4.       Perbaikan kinerja hubungan industrial (improved industrial relations performance);
      5.       Perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain (protection against takeover).
Bisa dibuktikan bahwa ke-5 alasan yang disebut di sini diputuskan manajemen perusahaan karena memang benar-benar dialami banyak perusahaan lebih-lebih pada perusahaan keuangan yang bersaing dengan ketat satu sama lain, dan ada kebiasaan terjadinya “mobilitas” tinggi dari staf yang berkualitas. Tanpa kecuali hampir semua cara ditempuh perusahaan untuk meningkatkan kesadaran ikut memiliki perusahaan bagi buruh/ karyawan yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan semangat bekerja yang pada gilirannya berakibat meningkatkan keuntungan perusahaan. Dalam perusahaan yang berbentuk koperasi, sejak awal anggota koperasi adalah juga pemilik perusahaan yang disamping dapat memperoleh manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi juga pada akhir tahun masih dapat menerima sisa hasil usaha (yang sering dikacaukan dengan keuntungan). Inilah “rahasia” berkoperasi yang biasanya tidak ditonjolkan pengurus karena praktek-praktek manajemen koperasi sering bertentangan dengan “teori koperasi” yang harus bersifatprofit-sharing. Artinya perusahaan koperasi sering berubah menjadi “koperasi pengurus” bukan “koperasi anggota”. Profit-sharing dan sharing ownership sangat sejalan dengan aturan main Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan menghindarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dan berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ilmu ekonomi ternyata tidak meningkatkan “kecintaan” para ekonom pada bangun perusahaan koperasi yang menonjolkan asas kekeluargaan, karena sejak awal model-modelnya adalah modelpersaingan sempurna, bukan kerjasama sempurna. Ajaran ilmu ekonomi Neoklasik adalah bahwa efisiensi yang tinggi hanya dapat dicapai melalui persaingan sempurna. Inilah awal “ideologi” ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog Jerman, bapak ilmu sosiologi ekonomi. Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai dengan ajaran awal Adam Smith (Theory of Moral Sentiments, 1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan dari John Commons di Universitas Wisconsin (1910).
Keprihatinan kita atas terjadinya kesenjangan sosial, dan ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan bangsa, seharusnya merangsang para ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untuk mengadakan kajian mendalam menemukenali akar-akar penyebabnya. Khusus bagi para ekonom tantangan yang dihadapi amat jelas karena justru selama Orde Baru ekonom dianggap sudah sangat berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara meyakinkan sehingga menaikkan status Indonesia dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah. Krisis multidimensi yang disulut krisis moneter dan krisis perbankan tahun 1997 tidak urung kini hanya disebut sebagai krisis ekonomi yang menandakan betapa bidang ekonomi dianggap “mencakupi” segala bidang sosial dan non-ekonomi lainnya.
Inilah alasan lain mengapa ekonom Indonesia mempunyai tugas sangat berat sebagai penganalisis masalah-masalah sosial-ekonomi besar yang sedang dihadapi bangsanya. Perbedaan pendapat di antara ahli hukum atau ahli sosiologi dapat terjadi barangkali tanpa implikasi serius, sedangkan jika perbedaan itu terjadi di antara pakar-pakar ekonomi maka implikasinya sungguh dapat sangat serius bagi banyak orang, bahkan bagi perekonomian nasional.
V. KESIMPULAN
Pada akhir-akhir ini makin berkembang pemikiran dan praktek “bank-bank syariah” yang berarti secara serius memasukkan ajaran-ajaran agama Islam dalam praktek-praktek perbankan kapitalis yang telah mengakibatkan krisis moneter dan krisis perbankan, yang sampai 5 tahun tetap belum teratasi. Bahkan upaya pemerintah menyelamatkan perbankan nasional dengan mengeluarkan dana-dana amat besar (obligasi rekap perbankan melebihi 50% PDB), tokh tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhasil, selama ajaran-ajaran agama tidak dipergunakan dalam upaya penyelamatan tersebut.
Di kalangan agama-agama lain (Katolik dan Hindu) juga makin intensif dibahas peranan nilai-nilai agama untuk membendung ajaran-ajaran ekonomi neoliberal yang meluas melalui globalisasi yang makin merajalela.
Yang dapat dilakukan oleh gereja adalah mendidik umat bersama masyarakat agar semakin bersedia melepaskan diri dari keserakahan modernisme, konsumerisme, dan kolonialisme kultural ke arah pemahaman tanggung jawab bersama (Konpernas XIX Komisi PSE-KW I, September 2002).
Nilai-nilai agama kini dianggap banyak orang merupakan satu-satunya cara untuk menantang ajaran-ajaran neoliberal ini karena paham ekonomi kapitalis dari Barat juga telah menyebarluaskan ajaran-ajarannya “melalui dan dengan metode-metode agama”.
The real task of Samuelson’s Economics was of this kind; it was to provide an inspirational vision of human progress guided by science in order to motivate Americans and other people to the necessaryreligious dedication to the cause of progress. (Nelson 2001: 71).
Ekonomi Pancasila adalah ajaran ekonomi baru yang agamis sekaligus manusiawi, nasionalistik, dan demokratis, untuk menantang kerakusan ajaran Neoliberal yang semakin rakus. Bahwa Depdiknas melalui Dirjen Pendidikan Tinggi memberikan dukungan kuat pada Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM untuk mengembangkan ajaran-ajaran ekonomi Pancasila, membuktikan kebenaran perjuangan moral ini. Ajaran ekonomi Pancasila jelas paralel dengan ajaran Ekonomi Syariah atau ekonomi Islami karena keduanya menekankan pada ajaran moral-spiritual untuk membendung ajaran “agama ekonomi kapitalis Neoliberal”.

REVIEW JURNAL 9

REVIEW JURNAL
 
DARI ILMU BERKOMPETISI KE ILMU BERKOPERASI
 

NAMA KELOMPOK :
1. Anggi Cynthia Devi ; 20210817 ; anggicynthiadevi
2. Debby Nur ; 21210725 ; deby_kibitverz
3. Amanda Fajriyah ; 20210595 ; fajriyahamanda
4. Dyah Nawang Wulan ; 22210228 ; nawangwulan_06
5. Ika Widiyawati ; 23210408 ; iqqha_widiya

I.  ABSTRAK

Dari IKOPIN yaitu singkatan dari Institut Manajemen Koperasi Indonesia, didirikan pada tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi. Reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Dalam era otonomi dari daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain esetiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi. Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat.
 
II. PENDAHULUAN
 
Pada undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan  agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).
Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.

III. REFORMASI KEBABLASAN
 
Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakanderegulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank. Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata.
Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.
   
IV. AMANDEMEN TERHADAP AMANDEMEN :
 
Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat
Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut:
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama)
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama)
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat)
Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan bertentangan.
Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomiyang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.
Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.

Ilmu Ekonomi Sosial
Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)
Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:
The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142)
Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik.
Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri.
Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.

V. KESIMPULAN
Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.
Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi
The nature of homo ethicus is completely different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others. He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social goals (Lunati, 1997:140)
Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.

REVIEW JURNAL 8

REVIEW JURNAL

KOPERASI MEWUJUDKAN KEBERSAMAAN DAN KESEJAHTERAAN: MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL DAN REGIONALISME BARU

SUMBER : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_1.htm

NAMA KELOMPOK :

1. Anggi Cynthia Devi ; 20210817 ; anggicynthiadevi

2. Debby Nur ; 21210725 ; deby_kibitverz

3. Amanda Fajriyah ; 20210595 ; fajriyahamanda

4. Dyah Nawang Wulan ; 22210228 ; nawangwulan_06

5. Ika Widiyawati ; 23210408 ; iqqha_widiya

ABSTRAK

Tidaklah cukup jika kita ingin membangun sistem Perekonomian Pasar yang berkeadilan sosial dengan sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun apabila menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar juga sangatlah tidak bijak untuk menjawab masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada Pemerintah. Koperasi telah membuktikan diri sebagai suatu gerakan dunia dalam melawan ketidakadilan pasar karena ketidaksempurnaan pasar.Cukup banyak contoh bukti keberhasilan koperasi dalam membangun posisi tawar bersama dalam berbagai konstelasi perundingan, baik dalam tingkatan bisnis mikro hingga tingkatan kesepakatan internasional. Oleh karena itu banyak Pemerintah di dunia yang menganggap adanya persamaan tujuan negara dan tujuan koperasi sehingga dapat bekerjasama.

PENDAHULUAN

Di Indonesia sejarah pengenalan koperasi didorong oleh keyakinan para Bapak Bangsa untuk mengantar perekonomian Bangsa Indonesia menuju pada kemakmuran dalam kebersamaan dengan semboyan “makmur dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran”. Kondisi obyektif dan pengetahuan masyarakat kita hingga tiga dasawarsa setelah kemerdekaan memaksa kita untuk memilih menggunakan cara tersebut. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran ganda dalam pengembangan koperasi dalam fungsi “regulatory” dan “development”. Akan tetapi peran ‘”development” justru sering tidak mendewasakan koperasi.

Sejak kelahiranya, koperasi disadari sebagai upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu dasar “self help and cooperation” atau “individualitet dan solidaritet” selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Sejak akhir abad yang lalu gerakan koperasi dunia kembali memperbaharui tekadnya dengan menyatakan keharusan untuk kembali pada jati diri yang berupa nilai-nilai dan nilai etik serta prinsip-prinsip koperasi, sembari menyatakan diri sebagai badan usaha dengan pengelolaan demoktratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menghadapi milenium baru dan globalisasi kembali menegaskan pentingnya nilai etik yang harus dijunjung tinggi berupa: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, openness, social responsibility and caring for others) (ICA,1995).

Rupanya sejarah koperasi di Barat yang cemerlang tidak mampu diikuti oleh koperasi Indonesia dan sebagian lain tidak berhasil ditumbuhkan dengan percepatan yang beriringan dengan kepentingan program pembangunan lainnya oleh Pemerintah. Pelajaran baru,akibat krisis ekonomi ketika Pemerintah tidak berdaya dan tidak memungkinkan untuk mengembangkan intervensi melalui program yang dilewatkan koperasi justru terkuak kekuatan swadaya koperasi.

Ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di tanah air yang sangat dibutuhkan masyarakat luas secara produktif dan kompetitif walaupun dalam keadaan dibawah arus rasionalisasi subsidi dan independensi perbankan . Bahkan koperasi masih mampu menjangkau pelayanan kepada lebih dari 11 juta nasabah, jauh diatas kemampuan kepiawaian perbankan yang megah sekalipun. Namun disayangkan karakter koperasi Indonesia yang kecil-kecil dan tidak bersatu dalam suatu sistem koperasi menjadikan tidak terlihat perannya yang begitu nyata.

Lingkungan keterbukaan dan desentralisasi memberi tantangan dan kesempatan baru untuk membangun kekuatan swadaya koperasi yang ada menuju koperasi yang sehat dan kokoh bersatu.

Menyambut pergeseran tatanan ekonomi dunia yang terbuka dan bersaing secara ketat, gerakan koperasi dunia telah menetapkan prinsip dasar untuk membangun tindakan bersama. Tindakan bersama tersebut terdiri dari tujuh garis perjuangan sebagai berikut :
Koperasi akan mampu berperan secara baik kepada masyarakat ketika koperasi secara benar berjalan sesuai jati dirinya sebagai suatu organisasi otonom, lembaga yang diawasi anggotanya dan mereka akan tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi;
Potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koperasi dihormati dalam peraturan perundangan;
Koperasi dapat mencapai tujuannya jika mereka diakui keberadaannya dan aktifitasnya;
koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lainnya bila terjadi “fair playing field”;
Pemerintah harus memberikan aturan main yang jelas, tetapi koperasi dapat dan harus mengatur dirinya sendiri di dalam lingkungan mereka (self-regulation);
Koperasi adalah milik anggota dimana saham adalah modal dasar, sehingga mereka harus mengembangkan sumberdayanya dengan tidak mengancam identitas dan jatidirinya, dan;
Bagi pertumbuhan koperasi bantuan pengembangan dapat berarti penting, namun akan lebih efektif bila dipandang sebagai kemitraan dengan menjunjung tinggi hakekat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan.

KESIMPULAN

Bagi koperasi Indonesia membangun kesejahteraan dalam kebersamaan telah cukup memiliki kekuatan dasar kekuatan gerakan. Untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dan arus pengaliran surplus dari bawah, Daerah otonom harus menjadi basis penyatuan kekuatan koperasi. Ada baiknya koperasi Indonesia melihat kembali hasil kongres 1947 untuk melihat basis penguatan koperasi pada tiga pilar kredit, produksi dan konsumsi (Adakah keberanian melakukan restrukturisasi koperasi oleh gerakan koperasi sendiri?).Dengan mengembalikan koperasi pada fungsinya (sebagai gerakan ekonomi) atas prinsip dan nilai dasarnya, koperasi akan semakin mampu menampilkan wajah yang sesungguhnya menuju keadaan “bersama dalam kesejahteraan” dan “sejahtera dalam kebersamaan”.


OLEH : Dr. Noer Soetrisno – Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

Selasa, 27 Desember 2011

REVIEW JURNAL 7

REVIEW JURNAL

MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT

SUMBER : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_4.htm

NAMA KELOMPOK :

1. Anggi Cynthia Devi ; 20210817 ; anggicynthiadevi

2. Debby Nur ; 21210725 ; deby_kibitverz

3. Amanda Fajriyah ; 20210595 ; fajriyahamanda

4. Dyah Nawang Wulan ; 22210228 ; nawangwulan_06

5. Ika Widiyawati ; 23210408 ; iqqha_widiya

ABSTRAK

Pada masa Orde Baru dan setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi yang biasanya didominasi oleh peran pemerintah, serta kondisi Indonesia yang dilanda krisis ekonomi. Muncul lahberbagai pertanyaan tentang peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospek dan strategi yang harus dilakukan dalam pengembangannya dimasa yang akan datang .Maka Koperasi dianggap memiliki arti strategis pada masa yang akan datang atas berbagai pemikiran bagaimana usaha untuk dapat keluar dari krisis yang sedang dihadapi.

PENDAHULUAN

A. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)

Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Terdapat tiga tingkatan bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Pada tingkatan ini biasanya koperasi menyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan. Peran koperasi juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain.

Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.

Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor. Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat. Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan. Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi. Alasan utama kebutuhan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, misalnya: untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota. Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.

Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses. Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas. Pola yang tidak hanya ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi. Seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.

B. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI

Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi dan dari pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, terdapat beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup, yaitu :
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberadaan koperasi. Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau secara ‘bottom-up’. Dan masyarakat juga harus memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri. Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang bagi kemampuan sendiri.

2. Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
Pada dasarnya Koperasi merupakan cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Struktur organisasinya sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya. Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sehingga akan memperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota. Pengalaman pengembangan KUD dengan format yang seragam akan menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.

3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain. Pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi.

4. Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
Secara khusus hal ini mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota. Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi. Hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.

5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota. Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi. Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain. Salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya. Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini.
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan.

6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.
Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’. Dengan kata lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas.
pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.

C. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA

Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis). Peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial. Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :

1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Sebenarnya Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, serta banyak KUD yang menjadi yang terbesar dikecamatan wilayah kerjanya masing-masing. Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada kenyataannya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi ini akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.

2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak hal yang tidak sesuai dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA).

3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya. Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.

4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut. Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.

5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.

6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan.

7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Citra koperasi tersebut akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.

8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder: unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri. Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.

D. KESIMPULAN

Beberapa pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua prasyarat. Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat menentukan. Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat. Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif. Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan. Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.

Minggu, 25 Desember 2011

REVIEW JURNAL 6

REVIEW JURNAL
KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA

SUMBER :
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_6.htm

NAMA KELOMPOK :

1. Debby Nur ; 21210725 ; deby_kibitverz

2. Anggi Cynthia Devi ; 20210817 ; anggicynthiadevi

3. Amanda Fajriyah ; 20210595 ; fajriyahamanda

4. Dyah Nawang Wulan ; 22210228 ; nawangwulan_06

5. Ika Widiyawati ; 23210408 ; iqqha_widiya

ABSTRAK

Melalui dari banyak perjalanan bangsa Indonesia dimulai dari perjuangannya mendapatkan hak kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Membutuhkan pengorbanan dan kerja keras. Hingga sampai akhirnya kemerdekaan itu diumumkan langsung. Dan telah dibuat pula pancasila dan undang-udang dasar 1945 saat itu sebagai cerminan perjuangan hidup rakyat indonesia untuk menuju cita-cita bangsa. Tidak sampai disitu, berbagai peristiwa mulai terjadi setelah proklamasi dibacakan. Namun, sedikit demi sedikit teratasi.

Dengan adanya pancasila yang merupakan sistem ekonomi yang cocok bagi bangsa indonesia, sistem ekonomi yang menganut rasa kekeluargaan dengan kesamaan dan kesatuan satu sama lain diantara sila-silanya. Dimana sila-sila tersebut sudah tercantum dan terkandung makna didalam UUD 1945. Jadi semua peratursn hukum harus mendasar dari pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa indonesia, sebagai ideologi bangsa dan dasar negara indonesia. Sistemnya yang kekeluargaan, sangat sesuai dengan koperasi yang pembentukannya mengutamakan kesejahteraan anggota, mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta berazaskan kekeluargaan. Namun, sistem pengelolaan koperasi haruslah benar dan tertib tanpa kecurangan.

PENDAHULUAN

WACANA PERJUANGAN

Perjuangan bangsa Indonesia dengan kekuatan nasionalnya untuk seluruh negeri melawan penjajah, untuk “Mencapai Indonesia Merdeka” berakhir menggembirakan setelah ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diumumkan langsung oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan setelah itu telah dilengkapi pula dengan dasar negara ideologi luhur Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pijakan perjuangan hidup bangsa Indonesia menuju cita-cita bangsa.

Bagi seluruh bangsa Indonesia proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah “berkat rakhmat Allah” yang mana sudah tercantum jelas dalam “Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga” yang melekat menyertai perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia yang juga tercantum dalam “Pembukaan UUD 1945 alinea kedua”, sedangkan dalam batang tubuhnya ditegaskan “Negara berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa” yang sudah dijelaskan dalam Pasal 29 UUD 1945, yang artinya tatanan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum dan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Oleh karena diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Proklamasi merupakan tekad serta janji bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan janjinya itu secara konsisten, murni dan konsekuen bersama segenap rakyat Indonesia di lingkungan dunia internasional dalam tingkat, harkat, martabat dan derajat yang sama dengan bangsa-bangsa lain. Berikut ini adalah beberapa gambaran dari cita-cita bangsa indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas 3 inti pokok, diantaranya yaitu :

1. Mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, stabil dan kuat agar mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
2. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,
3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Namun, hasil dari pada itu semua sangat mengecewakan bahkan terlihat jauh dari apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlunya langkah yang cermat untuk menjadi masa lalu itu sebagai pengalaman untuk kita intropeksi diri dan evaluasi dimana guna menemukan penyebab dari kegagalan perjuangan dan kemudian cari alternatif pemecahan yang tepat sebagai upaya antisipasi dari penyebab kegagalan tersebut.

Selanjutnya disusunlah recana baru perjuangan yang lebih realistis dan lebih terukur dengan situasi dan kondisi obyektif yang nyata serta penyusunan strategi perjuangan yang lebih relevan untuk tidak mengulangi kegagalan kedua kali.

PENGALAMAN SEJARAH SEJAK PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

Mengulang kembali serta mempelajari kembali perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak penceetusan proklamasi kemerdekaan hingga saat ini, disimpulkan bahwa sesungguhnya pancasila dan UUD 18945 belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen sesuai tujuan bangsa Indonesia.

Pada tanggal 18 agustus 1945 disahkannya UUD yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia dan kemudian dibentuknya kabinet presidensiil. Namun, atas usulan BP-KNIP kepada presiden agar Kabinet Presidensiil diganti dengan Kabinet Parlementer yang dipimpin perdana menteri dan bertanggung jawab kepada DPR. Maka, kabinet Presidensiil dibubarkan dan diganti dengan kabinet Parlementer yang sebenarnya tidak sesuai dengan UUD 1945. Maka setelah itu Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan akan kembali ke UUD 1945 dan kemudian membentuk kembali Kabinet Presidensiil yang bertanggung jawab sepenuhnya hanya kepada Presiden dimana sesuai dengan ketentuan yang ada pada UUD 1945.

Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September 1965) yang dipimpin oleh PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam waktu singkat ABRI dapat mengatasi pemberontakan tersebut.

Kemudian pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden menerbitkan Surat Perintah atau yang sering disbeut dengan istilah “Super Semar”, kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Pangkostrad untuk segera mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan negara. Tetapi ternyata Super Semar tersebut malah dimanfaatkan untuk mengambil alih kekuasaan Presiden dengan dukungan MPRS.

Kemudian disusul dengan dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah naungan pimpinan Jenderal Suharto yang berjanji untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tapi, Ternyata secara operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomi liberal kapitalistik serta diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan fihak konglomerat dan tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang kedaulatan negara.

PEMAHAMAN AMANAT PROKLAMASI 1945

Dari pengalaman yang ada pada sejarah diatas terlihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 dapat ditafsirkan hanya untuk kepentingan dan keinginan berkuasa saja.

Oleh karena itu perlu diupayakan kesepakatan nasional untuk penafsiran secara obyektif dan baku dari Amanat Proklamasi 45 sedemikan sehingga dapat dihindari tafsiran yang menyimpang. Bagi bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenyataan sejarah adalah kehendak Tuhan. Begitu pula Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah kenyataan sejarah yang merupakan pertanda zaman bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa nasib bangsa Indonesia akan berubah dan berbalik dari sengsara akibat imperalisme dan feodalisme menjadi bahagia berdasar cita-cita luhurnya.

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik balik sejarah, dari status terjajah dan terhinakan berbalik menjadi status merdeka dan termuliakan. Dan perlu diingat bahwa proses pembalikan status tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan dari perjuangan yang bersungguh-sungguh dan kerja keras.

Pernyataan “kemerdekaan” dalam kalimat alinea pertama Proklamasi mempunyai makna hakiki yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan hidup, sebagai filsafat, sebagai dasar negara, sebagai ideologi maupun sebagai suatu sistem kehidupan umat manusia.

Sementara pernyataan pemindahan “kekuasaan“ dalam kalimat alinea kedua Proklamasi mempunyai makna pengalihan, pemberian dan pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 antara negara dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) . Pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat yang diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dari UUD 1945 menunjukkan bahwa masing-masing memperoleh kekuasaan sebesar 70 %. Adapun menghasilkan tiga bentuk pengelolaan kekuasaan, yaitu

30 % murni dari pengelolaan kekuasaan negara, 30 % murni untuk pengelolaan kekuasaan rakyat hak hidup rakyat), dan 40 % dari pengelolaan bersama (dari negara dan rakyat) dalam bentuk koperasi. Dalam aspek ekonomi pengelolaan bersama merupakan pengelolaan koperasi berskala nasional yang modalnya dihimpun bersama antara rakyat dan negara.

EKONOMI PANCASILA (EKONOMI INDONESIA DENGAN MORAL PANCASILA)

Pancasila merupakan pandangan hidup, maka sila-sila dari pancasila adalah sudut-sudut pandang atau aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, yang diantaranya dapat dijelaskan seperti dibawah ini :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa; merupakan aspek spiritual,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; merupakan aspek kultural,
3. Persatuan Indonesia; merupakan aspek politikal,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; merupakan aspek sosial,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan aspek ekonomikal.

Kelima sila tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri maupun dipisahkan kepentingan dan maknanya satu-sama lain, melainkan kelimanya tersusun secara hirarkis dan berjenjang yaitu sila pertama meliputi sila kedua, sila kedua meliputi sila ketiga, sila ketiga meliputi sila keempat dan sila keempat meliputi sila kelima. Dengan demikian maka ekonomi Pancasila telah mengandung seluruh nilai-nilai moral Pancasila dan mengacu pada seluruh aspek kehidupan sila-sila dari Pancasila.

Ekonomi Pancasila itu adaapun mewujud hal-hal yang terdiri atas 3 pilar sub sistem, yaitu :

(1) pilar ekonomi negara yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan tugas negara dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (negara kuat), dengan tugas pokok antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

(2) pilar ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi (sharing antara negara dan rakyat) dan berfungsi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (home front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh anggotanya.

(3) pilar ekonomi swasta yang berfungsi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia (battle front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kemajuan usaha swasta yang memiliki daya kompetisi tinggi di dunia internasional.

Pola pengelolaan dari masing-masing pilar ekonomi tersebut berbeda dan membutuhkan kemampuan para pelaksana secara profesional agar hasilnya menjadi optimal sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap mendasarkan prinsip kerjanya yaitu efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pada masing-masing pilar. Masing-masing pilar mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk saling kerjasama dan saling bantu tanpa merugikan salah satu pihak.

KOPERASI INDONESIA

Berbeda dengan koperasi yang ada pada umumnya, yang dimaksud koperasi yang pada Pancasila dan UUD 45, adalah lembaga kehidupan rakyat Indonesia yang mana bertugas untuk menjamin hak hidup rakyat Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu Masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (2) pada UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.

Pada dasarnya rakyat Indonesia bukan “homo ekonomikus” melainkan “homo societas”, yang artinya lebih mementingkan hubungan antar manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi.

Untuk sistem ekonomi yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah sistem ekonomi tertutup yang bersifat kekeluargaan atau disebut dengan ekonomi rumah tangga, yaitu koperasi yang menguasai seluruh proses ekonomi dari hulu hingga hilir, dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota, sebagaimana telah dimaksudkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.

Dengan demikian maka koperasi benar-benar menguasai sumber kesejahteraan/rejeki dari sistem ekonomi itu dan dapat mendistribusikannya secara adil dan merata kepada seluruh anggotanya tanpa terkecuali. Tetapi syaratnya adalah bahwa sistem pengeloaannya haruslah benar dan tertib tanpa kecurangan.

PENGELOLAAN KOPERASI INDONESIA

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa koperasi Indonesia adalah sebagai lembaga ekonomi yang mampu mewujudkan Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur apabila dikelola secara benar dan tertib. Oleh karena itu perlu diberikan arah dan pedoman yang benar agar selalu dapat dikendalikan dan diluruskan setiap kali terjadi penyimpangan.

Berikut ini adalah pokok-pokok sebagai arahan yang benar antara lain :

1. Reformasi ekonomi mempunyai tujuan kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dan sekaligus menghapus berbagai ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2. Reformasi ekonomi Indonesia adalah pembaruan berbagai aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Aturan-aturan main ini secara keseluruhan dibakukan dalam Sistem Ekonomi Pancasila.
3. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancsila yang akan memperkuat jati diri dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia.
4. Ideologi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945, merupakan pegangan dan landasan strategi pembangunan nasional. Namun demikian strategi pembangunan nasional yang dilandasi ideologi nasional Pancasila belum pernah benar-benar diterima dan dilaksanakan secara ikhlas oleh seluruh warga bangsa.
5. Visi masa depan yang jernih hanya dapat diproyeksikan dengan menggunakan ideologi Pancasila yang setiap pelakunya berusaha mewujudkannya dalam tindakan konkrit kehidupan sehari-hari terutama dengan menunjuk pada ajaran-ajaran moral agama.

Dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan yang tercantum dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945, tanpa terkecuali. Pengertian Ini mengandung arti bahwa konsekuensi segenap tenaga kerja Indonesia harus habis terserap dalam sistem ekonomi Pancasila yang terdiri atas tiga pilar ekonomi tersebut. Didalam pilar ekonomi negara, unsur tenaga kerjanya tentu selektif dan terbatas. Begitu pula dalam pilar ekonomi swasta, kebutuhan tenaga kerjanya tentu juga selektif dan terbatas karena harus mampu bekerja secara efisien, efektif dan produktif guna mencapai daya saing yang cukup tinggi dalam dunia perdagangan dan usahanya.

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penyelenggaraan koperasi yang terjadi hingga sekarang di Indonesia belum sesuai dengan maksud Amanat 1945, yaitu Ekonomi Pancasila, oleh karena itu belum mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
2. Sistem koperasi Indonesia yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Amanat 1945 diyakini dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, karena semua unsur yang diperlukan bagi penyelenggaraannya sudah tersedia di dalam negeri, tinggal sistem pengelolaan beserta aturan mainnya.
3. Diperlukan pemikiran-pemikiran baru dan konsep-konsep baru yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan dasar sebagaimana dimaksud dalam pengertian Amanat 1945 sehingga rakyat/setiap warga negara dapat dijamin untuk memperoleh hak-haknya melalui keanggotaannya dalam koperasi Indonesia.
4. Diperlukan persiapan yang matang bagi terselenggaranya sistem koperasi Indonesia melalui studi induktif logis maupun deduktif baik formal maupun tradisional kultural.
5. Diperlukan pengertian dan goodwill dari Pemerintah dan semua fihak untuk mengerti dan mendukung serta berpartisipasi aktif dalam usaha pengembangan konsep baru ekonomi Pancasila agar dapat segera mengatasi krisis multi demensional yang terjadi selama ini.